Thursday, September 26, 2013

Mitos “Larangan menikah suku Sunda dengan suku Jawa”


 
“Mbookkk .. mbok Yem, minta minum dong”.
“Iya neng, sebentar mbok ambilkan”. Jawab wanita separuh baya dengan nada khasnya.
“Astaghfirullahal’adzim Dina, Mama khan sudah bilang nggak baik anak perempuan teriak-teriak gitu. Pamali atuh neng”.
“Yaelah Mam, di rumah sendiri ini khan. Siapa yang mau ngelarang ?”
 “Iya sayang ini memang rumah kita, tapi di sini khan juga banyak orang yang lebih tua dari kita.  Contohnya Mbok Yem, masa kamu sama Mbok Yem teriak-teriak gitu, khan nggak sopan.”
 “Iya sih Ma, nggak pantes juga”. Jawab Dina dengan nada menyesal.
“Ini neng geulis minumnya, cepat diminum mumpung masih dingin”. Kata mbok Yem sambil menaruh segelas jus diatas meja.
“Mbok, maaf ya tadi eneng teriak-teriak mintanya”.
“Aduh, neng geulis mah eunte usah dipikirken atuh. Si mbok mah biasa wae”. Mbok Yem hanya tersenyum kecil melihat gadis yang dari kecil dirawatnya sudah tumbuh dewasa.
Wanita separuh baya itu pun beranjak pergi meninggalkan anak dan ibunya berdua untuk berbincang-bincang lebih banyak.
“Oh ya Ma, aku pernah denger mitosnya, kalau kepala kita kejatuhan cicak berarti kita bakalan kena sial ?” Tanya Dina lebih antusias.
“Hehehe.. ya enggak lha sayang. Kalau cicaknya yang kejatuhan kamu baru sial. Khan beratan kamu daripada cicaknya”. Jawab Bu Tari sambil tertawa mendengar pertanyaan anak sematawayangnya.
“Ahh … Mama malah becanda sih, aku kan serius. Yaudah, aku mau ke kamar dulu, Daaahh mam”. Dina pun beranjak dari sofa menuju kamarnya.
“Yaudah, setelah ganti baju langsung turun buat makan siang ya. Mama sudah siapkan makanan kesukaan kamu !” Bu Tari mengingatkan.
Setelah melihat anak gadis sematawayangnya masuk dalam kamarnya, Bu Tari pun juga beranjak dari sofa untuk mempersiapkan makan siang di meja makan. Hanya satu langkah berjalan, seketika Bu Tari berhenti saat melihat foto pernikahannya. Ia pun tertawa kecil melihatnya. Entah apa yang ada dalam pikirkannya.
Mitos ?
Terasa geli bila terdengar ditelinga wanita berparas ayu ini. Ia teringat akan masa mudanya dulu yang melarang masyarakat Sunda menikah dengan orang keturunan Jawa. Entah mitos itu benar atau tidak, namun mitos itu cukup dipercayai dalam lingkungan sekitarnya. Masih teringat jelas saat dulu suaminya, Pak Joko datang kerumah orang tuanya untuk meminangnya. Saat itu, orang tuanya menentang keras ia menikah dengan Pak Joko. Mereka takut, kalau suatu saat nanti anak gadisnya akan sengsara karena menentang mitos yang ada. Namun, karena keteguhan hati Pak Joko yang meyakinkan akan selalu menjaga Bu tari, akhirnya orang tua Bu Tari memberi restu untuk mereka menikah.
Konon, mitos itu dipercaya karena adanya tragedi perang Bubat pada Jaman Sejarah. Saat itu, Prabu Hayam Wuruk berniat memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga Majapahit, maka dikirimkannya surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar putri Dyah. Upacara pernikahan rencananya dilaksanakan di Majapahit. Lalu berangkatlah Maharaja Linggabuana beserta Permaisuri dan Putri Dyah Pitaloka Citraresmi di Pesanggrahan Bubat, Majapahit.
Menurut Kidung Sundayana, timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Dengan maksud tersebut, Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk pun bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit saat itu.
Mendengar niat Gajah Mada, pihak Pajajaran tidak terima bila kedatangannya ke Majapahit hanya menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai taklukan. Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dan Gajah Mada, yang pada akhirnya perselisihan tersebut diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberi tanda takluk kepada Majapahit. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.
Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada yang berpasukan banyak dan kuat dengan Linggabuana yang berpasukan sangat sedikit. Peperangan pun berakhir dengan gugurnya Raja Linggabuana beserta keluarga kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat.
Putri Dyah Pitaloka pun melakukan tradisi bela pati untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatria, ritual tersebut dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur yang mengartikan untuk membela harga diri sekaligus untuk menjaga kesucian mereka karena dipermalukan.
Hayam Wuruk pun akhirnya meratapi kematian Dyah Pitaloka. Akibat peristiwa Bubat ini, rasa persaudaraan antara Hayam Wuruk dan Gajah Mada pun merenggang. Gajah Mada sendiri mendapat tentangan dari para pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh dan menyakiti hati Prabu Hayam Wuruk.
Sejak peristiwa tersebut, Pangeran Niskalawastu Kencana, adik dari putri Dyah Pitaloka mendeklamasikan kebijakan yaitu memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit. Akibat peristiwa Bubat itu juga akhirnya diberlakukannya peraturan larangan estri ti luaran ( beristri dari luar ) yang diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, apalagi menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas yaitu dilarang warga Sunda untuk menikahi orang Jawa.
“Ma, ayo makan. Dina udah laper banget nih”. Tiba-tiba Dina sudah ada di depan mamanya yang masih dalam lamunan.
“Ehh, iya sayang, ayo !” Bu Tari pun sadar dalam lamunan akan masa mudanya dulu.
Didalam keyakinan Bu Tari saat ini hanya satu. Tak ada yang bisa melawan, jika Tuhan telah berkehendak. Entah sekuat apa kepercayaan orang terhadap mitos leluhur, namun tetap semua yang menentukan adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Hanya Tuhan yang menentukan rezeki, takdir dan jodoh umatnya. Jika, para tetua kita bisa menciptakan mitos, mengapa kita sebagai penerus tidak bisa meluruskan mitos ?

SUMPAH YANG TERABAIKAN



 Kami putra dan putri Indonesia,  mengaku  bertumpah darah  yang satu, tanah air  Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku  berbangsa  yang satu, tanah air  Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Masih ingatkah kalian dengan sumpah itu ?
Masih terngiangkah sumpah suci itu ditelinga kalian ?
Tentang sumpah anak bangsa yang telah terlupakan. Sumpah yang bertahun-tahun, bahkan berabad-abad berkumandang menjunjung tinggi kesetiaan. Kesetiaan para pejuang muda untuk mempertahankan pusakanya. Pusaka yang seharusnya di jaga dan di hormati. Entah sejak kapan, sumpah itu tak lagi berarti. Entah sejak kapan pusaka hanya di artikan sebagai kain lusuh yang tak berarti.
                Ingatkah kalian tentang sejarah ?
Pelajaran yang singkat, namun cukup membuat kalian melipat kedua tangan  untuk bersandar. Padahal, begitu sukar mendapatkannya, berabad-abad memperjuangkannya, namun begitu singkat untuk mengingatnya. Entah siapa yang salah dalam keadaan ini. Begitu menyedihkan negriku, bahkan untuk mengingat tanpa pengorbanan saja sulit untuk dilakukan. Seakan Sumpah suci Negara mereka tak berarti apa-apa. Banyak korupsi dimana-mana, gelandangan merajalela, yang tinggi semakin tinggi, yang terpuruk semakin terpuruk.
Masih adakah kata SEDERAJAT ?
Masih adakah pernyataan BERBANGSA SATU ?
Sungguh terasa geli terdengar. Kita mengaku satu darah, satu bahasa, dan satu saudara. Namun, kenyataannya apa yang terucap tak sejalan dengan apa yang diperbuat.