“Mbookkk
.. mbok Yem, minta minum dong”.
“Iya
neng, sebentar mbok ambilkan”. Jawab wanita separuh baya dengan nada khasnya.
“Astaghfirullahal’adzim
Dina, Mama khan sudah bilang nggak
baik anak perempuan teriak-teriak gitu. Pamali
atuh neng”.
“Yaelah
Mam, di rumah sendiri ini khan. Siapa yang mau ngelarang ?”
“Iya sayang ini memang rumah kita, tapi di
sini khan juga banyak orang yang lebih tua dari kita. Contohnya Mbok Yem, masa kamu sama Mbok Yem
teriak-teriak gitu, khan nggak
sopan.”
“Iya sih Ma, nggak pantes juga”. Jawab Dina dengan nada menyesal.
“Ini
neng geulis minumnya, cepat diminum mumpung masih dingin”. Kata mbok Yem sambil
menaruh segelas jus diatas meja.
“Mbok,
maaf ya tadi eneng teriak-teriak
mintanya”.
“Aduh,
neng geulis mah eunte usah dipikirken
atuh. Si mbok mah biasa wae”.
Mbok Yem hanya tersenyum kecil melihat gadis yang dari kecil dirawatnya sudah
tumbuh dewasa.
Wanita
separuh baya itu pun beranjak pergi meninggalkan anak dan ibunya berdua untuk
berbincang-bincang lebih banyak.
“Oh ya
Ma, aku pernah denger mitosnya, kalau kepala kita kejatuhan cicak berarti kita
bakalan kena sial ?” Tanya Dina lebih antusias.
“Hehehe..
ya enggak lha sayang. Kalau cicaknya
yang kejatuhan kamu baru sial. Khan beratan kamu daripada cicaknya”. Jawab Bu
Tari sambil tertawa mendengar pertanyaan anak sematawayangnya.
“Ahh
… Mama malah becanda sih, aku kan serius. Yaudah, aku mau ke kamar dulu, Daaahh
mam”. Dina pun beranjak dari sofa menuju kamarnya.
“Yaudah,
setelah ganti baju langsung turun buat makan siang ya. Mama sudah siapkan
makanan kesukaan kamu !” Bu Tari mengingatkan.
Setelah
melihat anak gadis sematawayangnya
masuk dalam kamarnya, Bu Tari pun juga beranjak dari sofa untuk mempersiapkan
makan siang di meja makan. Hanya satu langkah berjalan, seketika Bu Tari
berhenti saat melihat foto pernikahannya. Ia pun tertawa kecil melihatnya.
Entah apa yang ada dalam pikirkannya.
Mitos
?
Terasa
geli bila terdengar ditelinga wanita berparas ayu ini. Ia teringat akan masa
mudanya dulu yang melarang masyarakat Sunda menikah dengan orang keturunan
Jawa. Entah mitos itu benar atau tidak, namun mitos itu cukup dipercayai dalam
lingkungan sekitarnya. Masih teringat jelas saat dulu suaminya, Pak Joko datang
kerumah orang tuanya untuk meminangnya. Saat itu, orang tuanya menentang keras
ia menikah dengan Pak Joko. Mereka takut, kalau suatu saat nanti anak gadisnya
akan sengsara karena menentang mitos yang ada. Namun, karena keteguhan hati Pak
Joko yang meyakinkan akan selalu menjaga Bu tari, akhirnya orang tua Bu Tari
memberi restu untuk mereka menikah.
Konon,
mitos itu dipercaya karena adanya tragedi perang Bubat pada Jaman Sejarah. Saat
itu, Prabu Hayam Wuruk berniat memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari
Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga Majapahit, maka dikirimkannya surat
kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar putri Dyah. Upacara
pernikahan rencananya dilaksanakan di Majapahit. Lalu berangkatlah Maharaja
Linggabuana beserta Permaisuri dan Putri Dyah Pitaloka Citraresmi di
Pesanggrahan Bubat, Majapahit.
Menurut
Kidung Sundayana, timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan
Sunda. Dengan maksud tersebut, Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima
Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda
dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk pun
bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang
diandalkan Majapahit saat itu.
Mendengar
niat Gajah Mada, pihak Pajajaran tidak terima bila kedatangannya ke Majapahit
hanya menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai taklukan. Kemudian terjadi insiden
perselisihan antara utusan Linggabuana dan Gajah Mada, yang pada akhirnya
perselisihan tersebut diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan
Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberi tanda
takluk kepada Majapahit. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.
Terjadilah
peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada yang berpasukan banyak dan
kuat dengan Linggabuana yang berpasukan sangat sedikit. Peperangan pun berakhir
dengan gugurnya Raja Linggabuana beserta keluarga kerajaan Sunda di
Pesanggrahan Bubat.
Putri
Dyah Pitaloka pun melakukan tradisi bela pati untuk membela kehormatan bangsa
dan negaranya. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatria, ritual
tersebut dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya
telah gugur yang mengartikan untuk membela harga diri sekaligus untuk menjaga
kesucian mereka karena dipermalukan.
Hayam
Wuruk pun akhirnya meratapi kematian Dyah Pitaloka. Akibat peristiwa Bubat ini,
rasa persaudaraan antara Hayam Wuruk dan Gajah Mada pun merenggang. Gajah Mada
sendiri mendapat tentangan dari para pejabat dan bangsawan Majapahit, karena
tindakannya dianggap ceroboh dan menyakiti hati Prabu Hayam Wuruk.
Sejak
peristiwa tersebut, Pangeran Niskalawastu Kencana, adik dari putri Dyah
Pitaloka mendeklamasikan kebijakan yaitu memutuskan hubungan diplomatik dengan
Majapahit. Akibat peristiwa Bubat itu juga akhirnya diberlakukannya peraturan
larangan estri ti luaran ( beristri
dari luar ) yang diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat
Sunda, apalagi menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian
ditafsirkan lebih luas yaitu dilarang warga Sunda untuk menikahi orang Jawa.
“Ma,
ayo makan. Dina udah laper banget nih”. Tiba-tiba Dina sudah ada di depan
mamanya yang masih dalam lamunan.
“Ehh,
iya sayang, ayo !” Bu Tari pun sadar dalam lamunan akan masa mudanya dulu.
Didalam
keyakinan Bu Tari saat ini hanya satu. Tak ada yang bisa melawan, jika Tuhan
telah berkehendak. Entah sekuat apa kepercayaan orang terhadap mitos leluhur,
namun tetap semua yang menentukan adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Hanya Tuhan
yang menentukan rezeki, takdir dan jodoh umatnya. Jika, para tetua kita bisa
menciptakan mitos, mengapa kita sebagai penerus tidak bisa meluruskan mitos ?